PEWARNA PUBLIK JAKARTA, – Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengatakan, bahwa publik mempertanyakan pengangkatan 5 penjabat gubernur yang dinilai tidak transparan. Karena penunjukkan tersebut tidak menggunakan aturan main yang memenuhi kaidah keterbukaan.
“Penunjukan kelima penjabat gubernur itu memakai pola lama dalam pengangkatan pejabat. Asalkan Eselon I atau JPT Madya bisa langsung menjadi gubernur,” ujar Prof Djohermansyah kepada media, Jumat (13/5/2022).
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat Gubernur yang ditandatangani pada 9 Mei 2022, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, atas nama, Presiden resmi melantik 5 penjabat gubernur.
Lima penjabat gubernur itu dilantik untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada pertengahan Mei 2022. Pelantikan berlangsung di Gedung Sasana Bhakti Praja Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kamis (12/5/2022).
Kelima penjabat tersebut di antaranya, pertama, Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Akmal Malik yang dilantik sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat.
Kedua, Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Paulus Waterpauw sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat.
Kemudian ketiga, Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin sebagai Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
Keempat, Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo. Kelima, Sekretaris Daerah Banten Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten.
“Pola lama seperti itu membuat tanda tanya, jadi spekulasi hanya karena dekat dengan LBP atau dekat dengan Mendagri. Begitu juga dengan pj gubernur Gorontalo dianggap dekat Menpora,” kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.
Mestinya, pengangkatan penjabat kepala daerah, kata Prof. Djo, sapaan akrabnya, pemerintah mengikuti putusan MK, agar dipertimbangkan dan diperhatikan melalui peraturan pelaksana (PP) dengan memakai prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi.
Kalau ini dibuat PP diatur syarat-syarat untuk bisa menjadi penjabat bukan hanya sekadar Eselon I atau Eselon II. Kemudian syarat umur, pengalaman kerja, pengalaman jabatan. Termasuk juga diatur soal apakah kewenangan-kewenangan disamakan dengan kepala daerah definitif. “Sementara sekarang merangkap jabatan masih diperbolehkan, selain menjabat pj juga menjabat struktural ASN,” sebutnya.
Karena masa jabatan yang lama, lanjutnya, perlu dipertimbangkan penjabat kepala daerah tidak merangkap jabatan, sehingga fokus dalam melaksanakan tugasnya. Belum lagi ada persoalan yang dikhawatirkan publik tentang pilkada dan pilpres tahun 2024.
Jika tidak memenuhi prinsip tranparansi dan keterbukan ditakutkan mereka bisa naik jabatan karena ada relasi-relasi dengan petinggi-petinggi. “Jika petinggi itu dari partai politik bisa saja mempengaruhinya untuk menolong partainya,” ucap Presiden Intitute Otonomi Daerah (i-Otda) ini.
Terkait pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, kata Prof. Djo, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Prof Djo menegaskan, ada banyak persoalan jika hanya mengandalkan pola lama. Menurutnya, pola baru yang disarankan MK itu sudah bagus.
“Buatlah peraturan pelaksanaan dari Pasal 201 UU 10/2016, termasuk kalau penjabat misalnya melanggar larangan bagaimana cara diberi sanksi, atau jika berprestasi diberi penghargaan, itu dicantumkan dengan rinci tugas dan wewenangnya,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri di tahun 2010-2014 itu.
Kemudian, sambungnya, cara rekrutmennya apakah dipilih langsung atau melalui pansel (panitia seleksi). Sedangkan yang sekarang tidak melewati pansel, sudah ditunjuk begitu saja.
“Kalau ada pansel bisa memeriksanya, pubik bisa mengikuti. Apakah calon penjabat itu melanggar etika bisa menjadi pertimbangan. Publik terlibat melalui pola baru yang saya usulkan,” paparnya.
Selanjutnya, Prof Djo menerangkan, untuk menghindari intervensi partai buat regulasi dalam bentuk PP yang mengatur seleksi lewat pansel dipusat dibentuk pansel penjabat gubernur dari kalangan pemerintah dan orang independen. Hal ini supaya dia bisa melihat dengan netral. Kemudian untuk kabupaten kota untuk penjabat bupati atau walikota harus ada pansel tingkat provinsi. Calon harus memenuhi syarat, baik kesehatan maupun pengalaman kerja.
“Itu yang kita buat seperti orang yang akan menduduki jabatan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Masa untuk kepala daerah yang terpenting ini tidak ada panselnya, main tunjuk-tunjuk saja dari pihak berwenang. Yang menunjuk gubernur pihak bewenang itu presiden, untuk bupati walikota yang berwenang mendagri,” kata Prof. Djo.
“Ini kan menjadi suka atau tidak suka. Berbeda dengan pansel yang terbuka karena orang bisa mengkritisi. Misalnya ada tiga calon maka yang dipilih salah satunya, tidak boleh diluar itu. Libatkan juga KPK dan HKSN agar tidak terjadi transaksi. Misalnya kalau pj gubernur mengelola anggaran triliunan rupiah, perijinan, barang dan jasa dikelola oleh pj gubernur. Kita khawatir ada hal-hal yang berbau suap. Maka untuk mencegah jangan sampai ada spekulasi-spekulasi seperti itu bagusnya kita mematuhi mengikuti pertimbangan MK. Bikin saja aturan main,” sambungnya.
Prof Djo juga mengusulkan kalau sudah lolos menjadi pj kepala daerah yang akan ditetapkan dengan SK dimasukan juga pelatihan barang sebulan, karena mereka belum tentu mengerti seluk beluk pemerintahan secara detail. Sedangkan sekarang penjabat kepala daerah belum ditugaskan semestinya dimasukkan dulu pelatihan sebelum dilantik, selama 2 minggu tentang orientasi kepemimpinan kepala daerah dengan pemberi materi bisa dari KPK, dan Kemenkeu.
Maka dengan mendapat bekal tersebut kepala daerah bisa berkerja di lapangan. Semua itu diatur dalam regulasi yang namanya PP. Namanya diklat orientasi kepemimpinan kepala daerah. Sehingga dia tahu jika ada tekanan dari petinggi, tokoh atau dari DPRD. Sementara yang baru dilantik itu belum pernah menjadi kepala daerah.
“Kita tidak tahu dengan pola lama ini apakah nama yang diusulkan Mendagri dikabulkan oleh Presiden atau nama baru yang keluar dari kantong Presiden. Misalnya 3 nama untuk menjadi gubernur Gorontalo, tapi yang jadi orang Kemenpora misalnya,” kata Prof. Djo.
Sebaiknya, saran Prof Djo, dari awal libatkan public lewat system demokrasi siapa yang berprestasi dia yang dapat bukan gara-gara kedekatan dengan kekuasaan, karena lobi-lobi nya meski tidak memenuhi kemampuan yang cukup, walaupun di evaluasi dalam satu tahun. “Maka bagaimanapun persiapan itu setengah dari keberhasilan. Kalau anda bikin persiapan yang baik, maka potensi anda untuk berhasil sangat tinggi, tapi kalau tidak ada persiapan yang baik, maka potensi anda tidak berhasil akan lebih tinggi,” pungkasnya.